Mimi Mariani Lusli: Penyandang Tuna Netra yang Jadi Dosen di Atmajaya

”Tunanetra kerap dicap sebagai tukang pijit dan pemain musik. Saya tertantang untuk berkarya di kalangan orang-orang normal,” kata Mimi Mariani Lusli, wanita kelahiran Jakarta, 17 Desember 1962.

Mimi Mariani Lusli adalah satu-satunya tunanetra yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di Universitas Atmajaya, Jakarta. Hal yang membuatnya istimewa adalah alumnus Leeds University, Inggris itu menjadi dosen setelah menempuh jalur pendidikan di sekolah dan universitas umum.

Berbeda dengan penyandang tunanetra yang kebanyakan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekolah, Mimi justru senang bersaing dengan rekan-rekan yang normal.

Mimi yang anak ketiga di antara empat bersaudara itu menyadari penglihatannya mulai kabur sejak berusia 10 tahun, yakni saat dia duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta Barat. Dia mengalami penyakit genetik retinitis pigmentosa yang merupakan penyakit degenerasi retina. Penyakit itu memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara genetis. Pada retinitis pigmentosa, terjadi degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap sehingga menyebabkan hilangnya penglihatan secara progresif.

‘Manifestasi gejala-gejala pada penderita retinitis pigmentosa adalah sulit melihat pada malam hari dan rabun senja, penyempitan lapang penglihatan secara perlahan, dan berlanjut pada kebutaan,”jelasnya. Karena penyakit itu mengenai saraf dan genetik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif.

Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu pun berkali-kali dibawa ke dokter mata. Ketika penyakitnya makin parah, dia tidak bisa lagi menulis di buku. Akibatnya, ketika duduk di kelas V SD, Mimi tidak bisa bersekolah lagi.

Pada usia 17 tahun, Mimi benar-benar mengalami kebutaan total. Rasa iri mulai muncul karena kakak dan adiknya bisa pergi belajar di sekolah. Pada saat yang sama, Mimi terus berganti dirawat di dokter mata dan dokter saraf. Sambil terus berobat itu, Mimi akhirnya bisa menempuh pendidikan di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur.

”Saya harus menerima kenyataan ketika suatu hari dokter memberi tahu bahwa penyakit saya tak bisa sembuh,” kata wanita yang memiliki nama panjang Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli ini.

Sekitar sebulan setelah itu, dia memilih mengisolasi diri dari dunia luar. Namun, kondisi tersebut justru membuat keluarganya terpacu untuk memberi dukungan. Melalui bimbingan rohani sejumlah pastor dan konsultasi panjang dengan psikolog, Mimi berusaha bangkit.

”Saya bangkit setelah membandingkan kondisi teman-teman tunagrahita. Mereka punya mata dan kuping, tapi tidak pernah dipakai secara baik,” ujar Mimi.

Dra. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Setelah menyelesaikan studi setara SMP di Malang pada 1982, Mimi melanjutkan studi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985). Dia kemudian berhasil menyelesaikan sarjananya di IKIP Santa Dharma Jogja (1985-1989).

Setelah itu, dia mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) Depok (1995-1997). Mimi juga memperoleh beasiswa dari British Council, sehingga bisa lulus program studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris.

Tak cukup sampai disitu, perempuan pejuang ini sekarang sedang melanjutkan kuliah kedoktorannya di Faculty of Earth and Life Sciences Universitas of Amsterdam di Belanda. “ Bagiku belajar itu mengasyikan,” kata salah satu pendiri yayasan Mitra Netra ini.

Mimi punya cara tersendiri untuk bisa sekolah dan kuliah bersama orang-orang normal. “Kami orang tuna netra harus punya konsentrasi penuh untuk bisa menyimak dengan baik,” kata Mimi tentang salah satu trik belajarnya.

Sebagai penyandang buta, trik-trik studi yang diterapkan Mimi cukup unik. Ketika harus memahami sebuah materi perkuliahan, dia mencari rekan yang suka diajak berdiskusi. Kalau hendak ke perpustakaan, dia mengajak temannya yang kutu buku membaca ke perpustakaan.

Mimi juga dibantu sejumlah teman serta saudaranya ketika harus membaca diktat perkuliahan dan menyelesaikan tugas. ”Saya juga berlagak seperti wartawan. Di kampus, saya membawa tape recorder kecil untuk merekam mata kuliah supaya bisa diulang di rumah,” jelasnya.

Pada 1991-2003, Mimi mengajar metode bergaul dan komunikasi dengan orang cacat di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Berbagai organisasi penyandang tunanetra ditekuni. Misalnya, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Organisasi sangat gigih memperjuangkan kesetaraan hak dan menganalisis pasal-pasal dalam GBHN yang diskriminatif terhadap penyandang tunanetra.

Mimi kini merancang sebuah metode pembelajaran tentang teori disabilitas bagi penyandang cacat maupun bagi orang normal. Program itu  dimatangkan Universitas Indonesia. Pada mata kuliah tersebut, dia mendesain teori ilmu komunikasi bagi tiap individu dari dua sisi dunia itu untuk memudahkan proses interaksi.

”Sebab, orang normal dan orang cacat itu bagai sisi mata uang yang berbeda, sehingga harus ada jembatan bagi mereka untuk saling memahami,” ujarnya.

Dia berharap, dengan mempelajari mata kuliah tersebut, mahasiswa yang terjun ke dunia profesi akan terasah kepekaannya terhadap sesama. Khususnya terhadap para penyandang cacat. ”Coba Anda jalan-jalan di tempat umum dan teliti berapa persen bangunan dan lokasi yang ‘ramah’ terhadap penyandang cacat,” ungkapnya mengkritik.

Perubahan sikap itulah yang kini juga gencar dia kampanyekan melalui metode belajar di Mimi Institute. Lewat institut itu, dia mengajarkan pelatihan sensitivitas kepada semua orang. Tiap peserta dilatih untuk memahami karakteristik penyandang cacat. ”Saat ini banyak hal yang tidak nyambung ketika penyandang cacat berinteraksi dengan orang normal,” tegasnya.

Seakan ingin terus menularkan semangatnya pada orang lain, Mimi banyak sekali berkecimpung dengan lembaga-lembaga sosial yang membantu pendidikan para penyandang cacat, terutama tuna netra. Mimi telah membangun Mimi Institute, sebuah lembaga yang memiliki visi agar para penyandang cacat memiliki hidup yang lebih baik.

 

Sumber: http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/03/04/mimi-mariani-lusli-penyan...

Tags: 
Jenis Berita/Artikel: